Opini
Oleh: WIDODO,S.H.
Dalam tradisi pemikiran hukum dan filsafat klasik, terdapat satu kaidah universal sebuah kekuasaan yang dikelilingi kepalsuan akan melahirkan kebusukan. Bangsa Yunani Kuno menyebut keutamaan moral dan kecakapan sebagai arete syarat mutlak bagi siapa pun yang memegang amanah. Ketika arete digantikan oleh pujian kosong, maka kehancuran hanya soal waktu.
Penjilat adalah antitesis dari keutamaan itu. Ia tidak membangun diri melalui kerja, kapasitas, dan tanggung jawab, melainkan melalui kedekatan semu dan kata-kata manis. Dalam perspektif hukum, perilaku demikian jelas bertentangan dengan asas bonum commune, karena kepentingan pribadi ditempatkan di atas kepentingan organisasi dan publik.
Aristoteles pernah mengingatkan, pemerintahan yang baik (politeia) dapat berubah menjadi kekuasaan yang rusak ketika pemimpin lebih senang mendengar sanjungan daripada kebenaran.
Penjilat tidak pernah menyampaikan fakta apa adanya. Kejujuran bagi mereka adalah risiko, kepalsuan adalah strategi bertahan hidup.
Dalam asas hukum dikenal prinsip nemo auditur propriam turpitudinem allegans “seseorang tidak boleh diuntungkan oleh keburukan atau kelicikannya sendiri”. Namun dalam praktik sosial, penjilat justru sering naik jabatan bukan karena prestasi, melainkan karena kepiawaian menyenangkan atasan. Di sinilah sistem merit mati perlahan.
Falsafah Jawa Kuno sejak lama telah mengkritik watak semacam ini. Pepatah “sepi ing pamrih, rame ing gawe” menempatkan kerja sebagai ukuran kehormatan, bukan kedekatan atau pujian. Penjilat justru melakukan sebaliknya rame ing pamrih, sepi ing gawe “ramai kepentingan pribadi, miskin kontribusi nyata”.
Lebih berbahaya lagi, penjilat menciptakan ilusi. Laporan dibuat indah, kritik disingkirkan, masalah ditutup-tutupi. Padahal hukum dan keadilan berdiri di atas prinsip fiat justitia ruat caelum “kebenaran harus ditegakkan walau terasa pahit”. Tanpa kejujuran, setiap keputusan hanya akan memperbesar kerusakan.
Sejarah membuktikan, banyak institusi runtuh bukan karena kekurangan sumber daya, melainkan karena dipenuhi orang-orang yang pandai menjilat namun miskin kinerja. Yakinlah bahwa Hukum alam bekerja tanpa kompromi yang palsu akan terbongkar, yang buruk akan tertinggal.
Karena itu, pernyataan bahwa penjilat biasanya kerjanya jelek bukan sekadar sindiran, melainkan kesimpulan logis dari sejarah, filsafat, dan pengalaman sosial. Organisasi yang memelihara penjilat sesungguhnya sedang menyiapkan kehancurannya sendiri.





