Muba, Cmnsumsel.com — Dugaan keterlibatan korporasi besar dalam kejahatan lingkungan kembali mencuat. PT Hindoli, perusahaan sawit yang selama ini dikenal sebagai salah satu pemain utama di sektor agribisnis Sumatera Selatan, diduga memfasilitasi aktivitas ilegal drilling dan melakukan pungutan liar (pungli) terhadap angkutan minyak hasil pengeboran ilegal.
Fakta ini diungkap oleh tim investigasi dari Muba Croupttion Word (MCW) yang turun ke lapangan bersama awak media pada Senin, 9 Juni 2025. Tim yang berjumlah lima orang itu menyaksikan secara langsung aktivitas pengeboran minyak ilegal yang beroperasi aktif di wilayah yang diduga masuk dalam konsesi PT Hindoli.
Namun yang paling mencolok, tim menemukan satu pos keamanan resmi milik PT Hindoli yang justru menjadi titik pungli terhadap mobil-mobil pengangkut minyak ilegal. Dalam pengakuan dari sopir dan narasumber di lokasi, setiap kendaraan diwajibkan membayar antara Rp100.000 hingga Rp200.000 agar bisa keluar melewati akses jalan milik perusahaan. Jika tidak membayar, mobil tidak diperkenankan lewat.
Lebih mengejutkan, pihak keamanan pos justru berdalih bahwa keberadaan mereka “resmi” karena pos tersebut sudah ada sebelum maraknya pengeboran ilegal. Pernyataan ini menjadi pembenaran atas praktik pungli yang secara terang-terangan dilakukan di bawah payung nama perusahaan.

“Sikap seperti ini menunjukkan bahwa PT Hindoli bukan sekadar lalai, tapi menjadi bagian dari sistem yang mengamankan jalur distribusi hasil kejahatan lingkungan,” ujar salah satu anggota tim investigasi MCW. “Mereka punya pos resmi, mereka tahu ada aktivitas ilegal, dan mereka memungut uang. Ini bukan ketidaktahuan, ini keterlibatan.”
Ketika tim mencoba meminta tanggapan resmi dari PT Hindoli, penjaga pos menolak memberikan informasi kontak person atau perwakilan perusahaan. Alasan yang diberikan? Humas sedang tidak masuk dan nomor WhatsApp-nya pun tidak diketahui. Alasan yang terdengar seperti bentuk penghindaran sistematis, bukan ketidaksiapan.
Pembiaran terhadap aktivitas ilegal, penyediaan akses jalan, dan keterlibatan pos keamanan dalam pungli adalah bentuk nyata dari pelanggaran hukum dan tanggung jawab sosial perusahaan. PT Hindoli, dalam hal ini, tidak hanya gagal menjaga wilayahnya dari praktik ilegal, tetapi justru memfasilitasi dan mengambil keuntungan dari kegiatan tersebut.
Dalam situasi ini, diamnya perusahaan justru mempertegas dugaan keterlibatan. Perusahaan sekelas PT Hindoli tidak mungkin tidak tahu apa yang terjadi di wilayahnya sendiri. Tidak ada alasan untuk tidak bertindak, kecuali memang sengaja membiarkan.
Aktivis lingkungan, masyarakat sipil, dan penegak hukum didesak untuk segera bertindak. Jika perusahaan sebesar PT Hindoli bisa lolos dari tanggung jawab atas dugaan seberat ini, maka keadilan lingkungan dan hukum di negeri ini benar-benar sedang dipermainkan.
PT Hindoli harus bicara. Jika tidak, maka keheningan mereka adalah pengakuan. (Tim)



