Opini

Sistem Merit ASN: Pilar Negara Hukum dalam Reformasi Birokrasi Daerah

39
×

Sistem Merit ASN: Pilar Negara Hukum dalam Reformasi Birokrasi Daerah

Sebarkan artikel ini

Oleh: Widodo, S.H.

Praktisi Hukum  –  JHW Law Firm

Opini, Cmnsumsel.com – Penandatanganan komitmen bersama Kepala Daerah se-wilayah kerja Kantor Regional VII BKN mengenai pembangunan meritokrasi yang dihadiri Bupati Musi Banyuasin H. M. Toha Tohet, S.H., merupakan langkah penting dalam memperkuat prinsip negara hukum di bidang manajemen kepegawaian.

Dari perspektif hukum, penerapan sistem merit bukan hanya kebijakan administratif, tetapi merupakan perwujudan dari amanat konstitusi dan regulasi yang menjamin kepastian hukum, keadilan, dan kesetaraan hak bagi setiap aparatur sipil negara (ASN).

Sistem Merit dalam Perspektif Hukum

Landasan hukum sistem merit di Indonesia sudah jelas: Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menjamin setiap warga negara berhak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) secara tegas mengatur bahwa pengisian jabatan dilakukan berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan karena hubungan politik, primordialisme, atau faktor non-profesional.

Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 jo. PP No. 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS juga memperkuat sistem merit dalam pengangkatan, penempatan, dan promosi jabatan.

Dengan demikian, komitmen Pemkab Muba adalah implementasi nyata dari prinsip rule of law, di mana hukum dijadikan dasar dalam setiap kebijakan birokrasi.

Peluang dari Perspektif Hukum;

1. Kepastian Hukum dalam Karier ASN

Sistem merit memastikan bahwa hak ASN atas promosi dan jabatan dilindungi oleh hukum, bukan ditentukan oleh selera politik. Ini akan menutup ruang bagi praktik maladministrasi.

2. Pencegahan Korupsi dan Nepotisme

Meritokrasi menjadi instrumen hukum yang efektif untuk mencegah KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) karena setiap penempatan jabatan harus melalui mekanisme objektif.

3. Penguatan Akuntabilitas Pemerintah Daerah

Secara hukum, penerapan meritokrasi mempertegas akuntabilitas Pemda Muba kepada masyarakat, sekaligus menjadi jaminan bahwa pelayanan publik dilaksanakan sesuai prinsip good governance.

Tantangan dari Perspektif Hukum ;

1. Resistensi Budaya Patronase

Meski regulasi sudah jelas, pelaksanaannya sering terhambat oleh budaya birokrasi lama yang sarat kepentingan politik. Ini menimbulkan potensi gugatan atau sengketa kepegawaian di PTUN apabila ASN merasa dirugikan.

2. Keterbatasan Pengawasan

Agar tidak berhenti sebagai seremonial, perlu mekanisme pengawasan hukum yang ketat, baik dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) maupun lembaga pengawas internal. Tanpa itu, meritokrasi bisa saja dimanipulasi.

3. Potensi Sengketa Kepegawaian

Dalam praktik, ASN yang merasa diperlakukan tidak adil masih berhak menempuh jalur hukum melalui upaya administratif dan gugatan ke PTUN. Jika sistem tidak dijalankan dengan konsisten, bisa terjadi gelombang sengketa hukum.

Penerapan sistem merit ASN di Kabupaten Musi Banyuasin adalah langkah maju dalam menjadikan hukum sebagai panglima dalam birokrasi. Namun, hukum tidak cukup hanya dijadikan legitimasi; ia harus dijalankan secara konsisten, diawasi, dan dievaluasi.

Ke depan, keberhasilan sistem merit akan diukur bukan dari banyaknya komitmen yang ditandatangani, melainkan dari berkurangnya sengketa kepegawaian, hilangnya praktik diskriminasi jabatan, dan meningkatnya pelayanan publik yang adil dan transparan.

Dengan begitu, Muba dapat menjadi contoh nyata bahwa negara hukum bukan sekadar konsep, tetapi hadir dalam tata kelola birokrasi yang meritokratis.

Ditulis oleh : Widodo, S.H.

Praktisi Hukum – JHW Law Firm.