Opini

Sokrates dan Nepal: Mengapa Orang Pintar Sejati Pasti Baik

36
×

Sokrates dan Nepal: Mengapa Orang Pintar Sejati Pasti Baik

Sebarkan artikel ini


Oleh: Widodo, S.H.

Praktisi Hukum – JHW Law Firm

Opini, Cmnsumsel.com – Gelombang protes 17+8 yang mengguncang Nepal beberapa pekan terakhir bukan sekadar letupan spontan, melainkan akumulasi kekecewaan rakyat terhadap elit politik. Dalam 17 tahun sejak menjadi republik, Nepal sudah berganti 13 kali pemerintahan angka yang mencerminkan betapa rapuhnya sistem politik.

Di jalanan, generasi muda menuntut perubahan: keadilan sosial, transparansi, dan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat. Mereka bukan lagi percaya pada elit lama, melainkan mencari figur yang tulus, berani, dan jujur.

Krisis Nepal ini menarik bila dibaca melalui kacamata filsuf Yunani, Sokrates, yang pernah berkata: “Orang yang benar-benar pintar pasti baik.”

Bagi Sokrates, pengetahuan sejati tidak bisa dipisahkan dari kebajikan. Orang yang sungguh-sungguh tahu apa itu kebaikan, tidak mungkin memilih kejahatan. Sebaliknya, orang berbuat jahat karena ketidaktahuan (ignorance).

Jika kita terapkan pada konteks Nepal, banyak elit politik memang “pintar” secara akademik atau strategi, tetapi gagal menjadi pintar sejati dalam arti Socratic wisdom. Mereka tahu cara mempertahankan kekuasaan, tetapi tidak tahu atau pura-pura tidak tahu apa arti kebaikan dan keadilan bagi rakyat.

Di Nepal, politik sering dipenuhi kalkulasi cerdas: koalisi, manuver, retorika. Namun “kepintaran” itu justru menjauhkan rakyat dari keadilan. Penundaan reformasi, praktik nepotisme, hingga represi terhadap demonstran menunjukkan bahwa elit masih terjebak dalam “pintar semu”.

Menurut Sokrates, inilah bentuk ketidaktahuan moral: mengetahui banyak hal teknis, tetapi buta terhadap kebaikan.

Protes 17+8 menunjukkan wajah lain dari generasi Nepal: berani, kreatif, dan kritis. Mereka tidak hanya menolak elit lama, tetapi juga menuntut lahirnya kepemimpinan baru yang “pintar sekaligus baik”.

Simbol-simbol seperti bendera Straw Hat Pirates dari anime One Piece mencerminkan harapan generasi muda terhadap pemimpin yang sederhana, jujur, dan berjuang bersama rakyat.

Dalam bahasa Sokrates: mereka mencari pemimpin yang memiliki pengetahuan sejati tentang kebaikan, bukan sekadar kecerdasan politik.

Sistem hukum Nepal menjamin hak untuk berpendapat dan kebebasan sipil. Namun kenyataan di lapangan berbeda: penembakan demonstran, pembatasan media sosial, hingga kriminalisasi aktivis.

Jika pemerintah benar-benar memahami hukum sebagai alat keadilan, bukan senjata kekuasaan, maka tindakan represif tidak akan pernah terjadi. Lagi-lagi, ini menegaskan pandangan Sokrates: kejahatan lahir dari ketidaktahuan terhadap kebaikan.

Nepal tidak hanya butuh pemimpin baru, tetapi cara berpikir baru. Sokrates memberi cermin:

Pemimpin yang hanya cerdas tanpa kebajikan akan membawa negara ke jurang instabilitas.

Pemimpin yang pintar sejati yakni tahu apa yang baik bagi rakyat akan memulihkan kepercayaan, menegakkan hukum, dan membangun ekonomi dengan adil.

Krisis Nepal hari ini adalah ujian: apakah elit politik mau belajar menjadi pintar sejati? Sokrates mengajarkan bahwa kebaikan bukan pilihan tambahan, tetapi inti dari kecerdasan.

Jika Nepal melahirkan pemimpin yang menggabungkan pengetahuan dengan kebajikan,

maka protes 17+8 akan tercatat bukan sebagai tragedi, melainkan titik balik menuju demokrasi yang matang.