Palembang, Cmnsumsel.com — Provinsi Sumatera Selatan dinilai sedang berada dalam kondisi yang mengarah pada darurat ekologis akibat meningkatnya kerusakan lingkungan pada wilayah-wilayah yang memiliki aktivitas pertambangan tinggi. Hal ini disampaikan oleh advokat sekaligus Managing Partner JHW Law Firm, Widodo, S.H., dalam sebuah pernyataan resmi yang dirilis di Palembang.
Menurut Widodo, tanpa adanya demonstrasi, tekanan publik, atau aksi massa sekalipun, data lapangan dan keluhan warga telah menunjukkan tanda-tanda serius kerusakan lingkungan. “Sumsel membutuhkan perhatian khusus—bahkan tindakan tegas,” ujarnya.
Kerusakan Lingkungan Mulai Terlihat Nyata
Dalam beberapa tahun terakhir, laporan masyarakat yang datang dari Muara Enim, Lahat, PALI, Musi Rawas Utara, hingga Banyuasin menunjukkan gejala lingkungan yang memburuk, antara lain:
- perubahan warna sungai menjadi gelap,
- sedimentasi berat,
- hilangnya vegetasi penahan air,
- pergeseran kontur tanah,
- serta meningkatnya risiko banjir dan longsor.
Widodo menegaskan bahwa pola tersebut menggambarkan rusaknya daya dukung lingkungan di sekitar kawasan pertambangan. Ia mempertanyakan efektivitas pengawasan pemerintah terhadap izin tambang yang seharusnya mengatur dan membatasi aktivitas perusahaan berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Potensi Bencana Ekologis
Widodo menyebut Sumatera Selatan telah menunjukkan indikator awal bencana ekologis akibat aktivitas pertambangan. Enam tanda utama yang disorotnya meliputi:
- degradasi hutan,
- penurunan kualitas air,
- kerusakan tanah bekas galian,
- peningkatan debu dan polusi udara,
- perubahan bentang alam,
- serta masalah kesehatan masyarakat di sekitar wilayah tambang.
“Dalam perspektif hukum lingkungan, kondisi ini termasuk ancaman terhadap keselamatan publik. Pemerintah daerah memiliki kewajiban hukum untuk mengambil langkah preventif,” tegasnya.
Seruan Review Menyeluruh Aktivitas Tambang
Advokat tersebut meminta Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan melakukan evaluasi total terhadap seluruh kegiatan pertambangan yang beroperasi, baik berizin maupun yang diduga tidak berizin. Ia menyarankan lima langkah utama:
- audit kepatuhan AMDAL,
- audit teknis-operasional,
- klasifikasi tingkat kerusakan wilayah,
- pemetaan risiko bencana ekologis,
- moratorium bagi wilayah yang dinilai kritis.
Menurutnya, langkah tersebut sejalan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kepentingan Ekonomi Tidak Boleh Mengorbankan Keselamatan Publik
Widodo mengakui kontribusi sektor pertambangan terhadap ekonomi daerah, tetapi menegaskan bahwa keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas. “Jika kerusakan dibiarkan, dampaknya akan merugikan masyarakat, pemerintah, perusahaan, hingga perekonomian jangka panjang,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pernyataan ini bukan seruan aksi atau tekanan politik, melainkan pandangan hukum profesional berdasarkan kondisi lapangan dan regulasi yang berlaku.
“Sumatera Selatan kini berada di persimpangan. Melindungi lingkungan berarti melindungi masa depan,” pungkasnya.
Ditulis oleh:
Widodo, S.H.
Advokat / Managing Partner
JHW LAW FIRM
Palembang



