Opini

Tragedi Ojol Dilindas Barakuda: Negara Wajib Hadir untuk Keadilan

38
×

Tragedi Ojol Dilindas Barakuda: Negara Wajib Hadir untuk Keadilan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Widodo, S.H. – Praktisi Hukum, JHW LAW FIRM

Opini, Cmnsumsel.com – Peristiwa meninggalnya seorang pengemudi ojek online (ojol) yang dilindas kendaraan taktis Barakuda milik Brimob saat aksi demonstrasi bukan hanya tragedi kemanusiaan, melainkan tamparan keras bagi negara hukum Indonesia. Seorang warga sipil yang seharusnya dilindungi, justru menjadi korban dari aparat yang ditugaskan menjaga keamanan.

Tragedi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: di manakah letak perwujudan sila ke-5 Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, ketika rakyat kecil justru kehilangan nyawanya akibat tindakan represif negara?

Jika kita meninjau peristiwa ini dari kacamata Pancasila, maka tragedi tersebut jelas menciderai sendi-sendi kebangsaan:

1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Hak hidup adalah anugerah Tuhan yang paling mendasar. Merampas nyawa seseorang secara sewenang-wenang adalah pengingkaran terhadap nilai ketuhanan.

2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Melindas rakyat dengan kendaraan taktis sama sekali tidak mencerminkan sikap adil dan beradab. Sebaliknya, itu adalah bentuk pelanggaran kemanusiaan.

3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia
Aparat dan rakyat semestinya berdiri dalam satu semangat persatuan. Ketika aparat justru menimbulkan korban di pihak rakyat, kepercayaan publik terhadap institusi negara tergerus.

4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Demonstrasi adalah bagian dari mekanisme rakyat menyampaikan pendapat. Menanggapi aspirasi dengan kekerasan berarti mengingkari prinsip musyawarah dan hikmat kebijaksanaan.

5. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Tidak ada keadilan sosial ketika seorang rakyat kecil harus meregang nyawa hanya karena menjalankan profesi dan kebetulan berada di lokasi aksi. Negara seharusnya hadir sebagai pelindung, bukan penindas.

Tragedi ini juga harus dilihat melalui instrumen hukum nasional:

1. UUD 1945

Pasal 28A: setiap orang berhak untuk hidup.

Pasal 28G ayat (1): hak atas perlindungan diri pribadi dan keselamatan.

Pasal 28E ayat (3): hak menyampaikan pendapat di muka umum.

2. UU No. 9 Tahun 1998
Menjamin hak warga untuk menyampaikan pendapat di muka umum secara damai, sekaligus mewajibkan aparat untuk melindungi jalannya aksi, bukan menciptakan korban.

3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Pasal 9 menegaskan hak untuk hidup tidak dapat dikurangi oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun.

4. KUHP

Pasal 338 KUHP: pembunuhan.

Pasal 359 KUHP: kelalaian yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia.

5. KUHPerdata
Pasal 1365 KUHPerdata: perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian, mewajibkan pelaku memberi ganti rugi.

6. Perkapolri No. 1 Tahun 2009
Menegaskan bahwa penggunaan kekuatan oleh aparat harus proporsional, akuntabel, dan menghormati HAM.

Dari perspektif hukum positif, tindakan melindas ojol hingga meninggal dunia bukan sekadar “kecelakaan operasional”, melainkan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana dan pelanggaran HAM berat jika terbukti ada unsur kesengajaan atau kelalaian fatal.

Hak hidup adalah hak absolut (non-derogable right) yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk dalam situasi darurat. Ketika seorang ojol kehilangan nyawanya akibat tindakan aparat, maka negara telah gagal memenuhi kewajiban to protect, to respect, dan to fulfill hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Sebagai praktisi hukum, saya menilai tragedi ini menimbulkan tiga lapis pertanggungjawaban:

1. Pertanggungjawaban Pidana
Oknum aparat atau komandan lapangan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas kelalaian atau kesengajaan yang menyebabkan kematian.

2. Pertanggungjawaban Perdata
Institusi kepolisian dapat digugat atas dasar perbuatan melawan hukum untuk memberikan kompensasi kepada keluarga korban.

3. Pertanggungjawaban Administratif & Etik
Evaluasi menyeluruh harus dilakukan atas prosedur pengamanan aksi, termasuk sanksi etik bagi komandan lapangan yang lalai mengendalikan anggotanya.

Demi menjaga marwah hukum dan kemanusiaan, saya menyampaikan beberapa tuntutan:

1. Investigasi Independen oleh Komnas HAM, Ombudsman, dan lembaga negara lain untuk memastikan transparansi.

2. Proses Hukum Tegas terhadap oknum aparat tanpa tebang pilih.

3. Kompensasi Layak bagi keluarga korban, baik berupa santunan maupun pemulihan hak-hak sosial.

4. Reformasi Prosedur Pengamanan Aksi agar penggunaan kekuatan aparat lebih humanis, proporsional, dan berorientasi pada HAM.

5. Jaminan Hak Konstitusional rakyat dalam menyampaikan pendapat di muka umum tanpa rasa takut.

Tragedi ojol dilindas Barakuda ini bukan sekadar peristiwa hukum, melainkan cermin wajah negara kita. Jika negara gagal menegakkan keadilan atas nyawa rakyat kecil, maka amanat konstitusi dan Pancasila hanya akan menjadi slogan kosong.

Sebagai praktisi hukum, saya menegaskan bahwa negara harus hadir, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata: menegakkan keadilan, menghormati hak asasi, dan memastikan rakyat tidak lagi menjadi korban kekerasan aparat.

Widodo, S.H.
Praktisi Hukum – JHW LAW FIRM